Selasa, 30 April 2013

KEK-KISM PTPN III


12-Mar-2013
KEBIJAKAN DAN PRASYARAT KEBERHASILAN PENGEMBANGAN LNDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT

MAKSI

Gagasan pembentukan klaster industri kelapa sawit, faktanya telah didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah. Sebagai salah satu prasyarat berhasilnya pengembangan hilir sawit.

Guna memudahkan dan mendorong pengembangan industri hilir yang terintegrasi, terutama industri oleokimia. Beberapa kebijakan dan peraturan pemerintah yang mendukung pengembangan industri hilir kelapa sawit diantaranya adalah sebagai berikut, pertama, kebijakan pemerintah mengenai pembangunan klaster industri kelapa sawit melalui Keputusan Menteri Perindustrin (KMP No. 13/M-IND/PER/I/2010), yang menetapkan tiga wilayah sebagai lokasi pendirian klaster industri kelapa sawit, yakni di Sei Mangkei (Sumatera Utara), Kuala Enok (Riau), serta Maloy (Kalimantan Timur). Terwujudnya klaster industri kelapa sawit diharapkan mampu meningkatkan daya saing dan nilai tambah industri kelapa sawit Indonesia.

Lantas kedua, kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel), dengan target memacu tumbuhnya sektor industri biodiesel berbasis minyak sawit. Bahkan rencana tersebut juga didukung oleh UU Energi No 30 Tahun  2007 yang mencakup penyediaan dan pemanfataan energi baru dan energi terbarukan yang bersifat wajib ditingkatkan oleh pemerintah.

Ketiga, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal. Kebijakan di atas memberikan dukungan terkait pengembangan industri turunan kelapa sawit melalui klaster industri dan peningkatan produktivitas perkebunannya, termasuk diantaranya adalah mengubah produk primer menjadi produk olahan untuk ekspor.

Keempat, Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri No 3 dan 36 tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) dan Sistem Inovasi Daerah (Sida), yang dapat memperkuat kinerja lembaga penelitian dan pengembangan kelapa sawit untuk lebih giat menciptakan beragam inovasi produk yang akan memperkuat industri hilir kelapa sawit.

Kelima, Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No 4 Tahun 2012, seharusnya juga memacu pengembangan teknologi hilir pemanfaatan cangkang kelapa sawit sebagai sumber energi listrik Pembangunan PLTU berkapasitas 2x15 watt di kawasan industri Sei Mangkei merupakan salah satu contoh cerdas penggunaan cangkang sawit sebagai bahan pembangkit listrik berbasis biomassa.

Keenam, PP 94/2010 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan. Ini menjadi dasar hukum Menteri Keuangan untuk mengeluarkan fasilitas pembebasan PPh atau sering disebut Tax Holiday untuk industri-industri khusus (pionir) termasuk diantaranya industri kelapa sawit.
Ketujuh, Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko) telah menyiapkan beberapa kebijakan dan langkah penting guna memperbaiki infrastruktur perhubungan di Indonesia. Kebijakan yang dimaksud antara lain menjalankan Perpres No.26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas).

Dan kedelapan, terkait dengan isu lingkungan, Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, seharusnya juga dapat digunakan oleh para pelaku industri kelapa sawit untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan mengkonversi gas metana menjadi energi listrik.
Program pengembangan industri hilir kelapa sawit di dalam negeri secara hipotetik menguntungkan karena akan mampu memacu perkembangan perekonomian, terjadinya penganekaragaman produk hilir kelapa sawit, serta peningkatan nilai tambah. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan tersebut di atas diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan investasi industri hilir kelapa sawit, sehingga peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat. Namun demikian, industri kelapa sawit adalah sektor bisnis yang unik dan dicirikan dengan adanya rantai bisnis yang kompleks dan terpadu atau saling terkait. Rantai bisnis tersebut sangat  erat hubungannya mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, industri penyokong, pengolahan di industri hulu sampai pada maksimasi nilai tambah dalam industri hilir secara terpadu.

Beberapa prasyarat bagi keberhasilan pengembangan industri hilir kelapa sawit adalah sebagai berikut: disokong dengan kuat oleh pemerintah pusat dan daerah, lokasinya harus strategis, memiliki kelimpahan pasokan CPO, PKO dan hasil samping lainnya dengan baik, memiliki dermaga pelabuhan yang dalam, terlindung serta aman dengan akses ke samudera luas yang sangat baik, pengurusan birokrasi yang luwes dan cepat, menggunakan teknologi mutakhir, serta adanya Industri kelapa sawit adalah sektor bisnis yang unik dan dicirikan dengan adanya rantai bisnis yang kompleks dan terpadu atau saling terkait kehadiran perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang bekerjasama membentuk perusahaan baru dengan swasta atau BUMN di dalam negeri.

Di lain pihak, pemerintah juga perlu menghilangkan faktor-faktor penghambat iklim investasi dengan melakukan pemberian jaminan kepastian hukum kepada investor dalam dan luar negeri. Mengingat investasi di industri hilir kelapa sawit sangat besar jumlahnya, bukan hanya puluhan atau ratusan juta US dollar, melainkan juga milyar dollar (puluhan trilyun) maka keterlibatan pemodal asing, terutama perusahaan multi nasional akan merupakan prasyarat yang perlu ada lagi. Hal tersebut hanya dapat dicapai dengan dilakukannya harmonisasi kebijakan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan dalam rangka meningkatkan percepatan realisasi pembangunan industri hilir kelapa sawit, serta penanaman modal dalam perusahaan patungan asing dan nasional. Namun demikian, masuknya investor perusahaan-perusahaaan multi nasional (MNC) dalam industri hilir kelapa sawit, selain menguntungkan dalam segi investasi dan serapan tenaga kerja, sebaliknya juga berpotensi memberikan dampak negatif yang merugikan, yakni tidak akan terbukanya akses kerjasama untuk penelitian dan pengembangan bagi lembaga-lembaga universitas dan lembaga litbang Indonesia.

Ini terjadi mengingat bagi MNC litbang adalah kegiatan rahasia dan sangat penting sebagai strategi dalam memenangkan persaingan, sehingga mereka akan bersikeras untuk mengerjakannya sendiri, dan menafikan peranan universitas dan lembaga litbang di dalam negeri. Hal di atas juga diperparah dengan kenyataan bahwa hampir semua investor MNC, investor asing lainnya, dan juga perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar nasional yang melakukan investasi dalam proses hilir kelapa sawit, sebagian besar (bahkan hampir seluruhnya) juga menggunakan teknologi asing, misalnya teknologi LURGI, De-Smet Balistra, Evonik dan lain-lain, sehingga bila ada masalah yang terjadi, maka pemecahan masalahnya otomatis akan dikerjasamakan dengan para industri pemasok teknologi di atas, bukan dengan universitas atau lembaga litbang nasional.

Dengan demikian, proses pembelajaran, pemanfaatan pengalaman secara bersama-sama, apalagi transfer ilmu pengetahuan dan teknologi sangat sulit diharapkan untuk terjadi. Hal terakhir inilah yang sangat meresahkan para peneliti serta kalangan cendekiawan pecinta kelapa sawit di dalam negeri, yang memerlukan solusi yang segera, karena kalau tidak akan menimbulkan apatisme, frustrasi dan bahkan perlawanan moral yang merugikan.

Prof. E' Gumbira Said*) dan Fahmil Qowim**)
*)Profesor Teknologi Industri Pertanian, Fateta; Senior Advisor Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, SPS-IPB, serta Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI).
**) Magister Teknologi Industri Pertanian, don Pengurus Kerjasama Riset Kelembagaan MAKSI.
sumber : MARET 2013 InfoSAWIT hal 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar